Stres Digital pada Pekerja: Bagaimana Cara Mengatasinya?
Stres digital didefinisikan sebagai keadaan stres dan cemas karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang dimungkinkan melalui media seluler dan sosial (Steele et al., 2020 dalam Khetawat dan Steele, 2023).
Berdasarkan hasil laporan terbaru State of the Global Workplace: 2023 Report dari Gallup mengatakan bahwa sepanjang tahun 2022, 44% pekerja di dunia mengalami stres selama hari kerja. Pada lingkup Asia Tenggara dilaporkan tingkat stres harian di kalangan pekerja mencapai 26%. Tingkat stres harian pada pekerja di Indonesia dilaporkan berada di angka 21%, paling rendah di antara negara Asia Tenggara lainnya.
Perkembangan teknologi telah mempengaruhi cara kita bekerja dan mengubah pekerjaan itu sendiri. Teknologi digital mencakup, antara lain, teknologi seluler (misalnya ponsel), teknologi jaringan (misalnya internet), teknologi komunikasi (misalnya e-mail), dan teknologi aplikasi umum (misalnya pengolahan kata) (Fischer et al.,2021).
Perkembangan era digital yang cukup pesat memiliki potensi untuk pekerja dapat berkonektivitas dimana saja dan kapan saja. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan kontak yang terus menerus sehingga dapat menghilangkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dampak negatif inilah yang timbul dari penggunaan teknologi yaitu keadaan stres yang secara tidak langsung mempengaruhi perasaan secara psikologis, fisik, dan perilaku (Setyadi, & Taruk, 2019).
Penyebab Stres Digital
Secara umum, stres digital dipengaruhi oleh faktor demografi maupun pekerjaan. Secara demografi, pria lebih cenderung mengalami tingkat stres digital yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Pria lebih sering menggunakan teknologi sesuai keinginannya sedangkan wanita cenderung menggunakan teknologi ketika situasi mengharuskan. Usia dan tingkat pendidikan juga memainkan peran penting.
Baik pekerja yang lebih tua maupun pekerja dengan tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung mengalami tingkat stres digital yang lebih rendah dikarenakan telah lebih matang dalam mengelola stres.
Dari segi pekerjaan, pekerja dengan pengalaman lebih lama dalam menggunakan teknologi mengalami tingkat stres digital yang lebih rendah karena sudah memiliki pengalaman yang cukup dalam menghadapi gangguan, perubahan, peningkatan, dan perkembangan teknologi (Fischer et al., dalam Brilianti et al., 2023, Tarafdar et al., 2011).
Secara khusus, stres digital muncul sebagai hasil dari kelelahan emosional, berkurangnya dukungan iklim inovasi, serta rendahnya kepuasan kerja dan pengguna (Fischer et al., 2021, dalam Brilianti et al., 2023).
Kelelahan emosional adalah unsur umum dalam pengukuran gejala burnout dan sering diidentifikasi sebagai komponen stres dalam kerangka kerja burnout (Maslach et al., 2001). Maslach dan Jackson (1981) mendefinisikannya sebagai “perasaan terlalu terlibat secara emosional dan kelelahan yang muncul akibat tuntutan pekerjaan.” Dalam penelitian sebelumnya (Ayyagari et al., 2011; Tams et al., 2014), ditemukan bahwa pemicu stres digital memiliki hubungan positif dengan kelelahan emosional.
Dipercayai bahwa iklim kerja yang mendukung inovasi dan komunikasi yang baik dapat mengurangi stres digital (Tarafdar et al., 2010). Namun, dalam situasi dengan banyak faktor yang menimbulkan stres di lingkungan kerja, dapat muncul persepsi bahwa organisasi tidak lagi mempromosikan inovasi seperti seharusnya.
Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan teknologi yang cepat atau beban kerja yang terlalu tinggi. Akibatnya, persepsi positif terhadap iklim inovasi dapat berkurang (Clercq et al., 2014).
Rendahnya kepuasan kerja dan pengguna mencerminkan perasaan negatif individu terhadap pekerjaan dan teknologi yang digunakan (Locke, 1976). Ketika individu merasa tidak puas dengan penggunaan teknologi dalam melakukan pekerjaannya, stres digital dapat muncul (Ragu-Nathan et al., 2008).
Akibat Stres Digital
Reinecke et al.,(2017) mengemukakan dampak dari stres digital, yakni: (a) terjadinya kelelahan akibat pekerjaan ganda yang dilakukan; (b) bertambahnya tekanan sosial yang diterima; (c) rasa takut akan ketinggalan informasi dan interaksi sosial; (d) meningkatnya kecemasan dalam diri individu yang mengarah pada gejala depresi. Stres digital bagi individu dapat mengurangi kepercayaan dan kenyamanan secara keseluruhan dalam menggunakan teknologi. Kondisi ini menyebabkan perasaan tidak berdaya dan mengganggu sehingga dapat menyebabkan hilangnya ketertarikan dalam penggunaan teknologi (Brilianti et al., 2023).
Strategi Pengelolaan Stres Digital
Stres digital dapat dikelola dengan beberapa strategi berikut. Pertama, menetapkan pembatasan terkait waktu untuk melakukan pekerjaan. Pekerja dapat mengatur jadwal penggunaan aplikasi yang terkait dengan pekerjaannya. Sebagai contoh, pekerja dapat memanfaatkan fitur “Working Hours” pada Google Calendar. Fitur tersebut memiliki kemampuan otomatis untuk menolak undangan rapat atau panggilan apabila sudah berada di luar jam kerja (Noval, 2022).
Kedua, memisahkan penggunaan perangkat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal ini memungkinkan pekerja untuk beristirahat dari pekerjaannya dan meremajakan diri. Fitur “Work Profile” dari Google dapat membantu pekerja untuk memisahkan aplikasi terkait pekerjaan dan kehidupan pribadinya pada satu perangkat. Bagi pengguna iOS, dapat juga menggunakan mode “Focus” yang dapat dikustomisasi sesuai dengan kebutuhan sembari memberitahu orang lain bahwa pemilik perangkat ini sedang sibuk (Tarafdar et al., 2020).
Ketiga, meningkatkan persepsi positif terhadap teknologi. Dengan meningkatnya persepsi positif, pekerja mampu berpikir secara rasional dan mengingatkan diri tentang manfaat dari teknologi tersebut. Pada akhirnya penggunaan teknologi akan sangat membantu dalam peningkatan produktivitas pekerja (Tarafdar et al., 2020).
Stres digital merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan pekerja. Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa strategi pengelolaan stres digital telah diusulkan, termasuk pembatasan waktu kerja, pemisahan perangkat kerja dan kehidupan pribadi, serta meningkatkan persepsi positif terhadap teknologi. Dalam dunia yang terus terhubung, diperlukan pikiran bijak tentang bagaimana teknologi mempengaruhi kehidupan. Apakah teknologi membuat seseorang lebih cerdas atau justru lebih stres?